FITNAH YANG MENIMPA
  
  
  
    Pada tahun 205 H, Imam Bukhari datang ke Naisabur. Beliau menetap di sana
    selama beberapa waktu dan terus beraktifitas mengajarkan hadits. Muhammad
    bin Yahya adz-Dzuhli -tokoh ulama di kota itu dan juga salah satu guru Imam
    Bukhari- mengatakan kepada murid-muridnya, “Pergilah kalian kepada lelaki
    salih dan berilmu ini, supaya kalian bisa mendengar ilmu darinya.” Setelah
    itu, orang-orang pun berduyun-duyun mendatangi majelis Imam Bukhari untuk
    mendengar hadits darinya. Sampai, suatu ketika muncul ‘masalah’ di majelis
    Muhammad bin Yahya, dimana orang-orang yang semula mendengar hadits di
    majelisnya berpindah ke majelisnya Imam Bukhari.
  
  
  
    Sebenarnya, sejak awal, Imam adz-Dzuhli tidak menghendaki terjadinya masalah
    antara dirinya dengan Imam Bukhari, semoga Allah merahmati mereka berdua.
    Beliau pernah berpesan kepada murid-muridnya, “Janganlah kalian tanyakan
    kepadanya mengenai masalah al-Kalam (keyakinan tentang al-Qur’an kalamullah,
    pent). Karena seandainya dia memberikan jawaban yang berbeda dengan apa yang
    kita anut pastilah akan terjadi masalah antara kami dengan beliau, yang hal
    itu tentu akan mengakibatkan setiap Nashibi (pencela ahli bait), Rafidhi
    (syi’ah), Jahmi, dan penganut Murji’ah di Khurasan ini menjadi mengolok-olok
    kita semua.”
  
  
  
    Ahmad bin ‘Adi menuturkan kisah dari guru-gurunya, bahwa kehadiran Imam
    Bukhari di kota itu membuat sebagian guru yang ada di masa itu merasa
    hasad/dengki terhadap beliau. Mereka menuduh  Bukhari berpendapat bahwa
    al-Qur’an yang dilafalkan adalah makhluk. Suatu ketika muncullah orang yang
    menanyakan kepada beliau mengenai masalah melafalkan al-Qur’an. Orang itu
    berkata, “Wahai Abu Abdillah, apa pandanganmu mengenai melafalkan al-Qur’an;
    apakah ia makhluk atau bukan makhluk?”. Setelah mendengar pertanyaan itu,
    Bukhari berpaling dan tidak mau menjawab sampai tiga kali pertanyaan. Orang
    itu pun memaksa, dan pada akhirnya Bukhari menjawab,“al-Qur’an adalah Kalam
    Allah, bukan makhluk. Sementara perbuatan hamba adalah makhluk. Dan menguji
    seseorang dengan pertanyaan semacam ini adalah bid’ah.” Yang menjadi sumber
    masalah adalah tatkala orang itu secara gegabah menyimpulkan, “Kalau begitu,
    dia -Imam Bukhari- berpendapat bahwa al-Qur’an yang aku lafalkan adalah
    makhluk.” Dalam riwayat lain, Bukhari menjawab, “Perbuatan kita adalah
    makhluk. Sedangkan lafal kita termasuk perbuatan kita.” Hal itu menimbulkan
    berbagai persepsi di antara hadirin. Ada yang mengatakan, “Kalau begitu
    al-Qur’an yang saya lafalkan adalah makhluk.” Sebagian yang lain membantah,
    “Beliau tidak mengatakan demikian.” Akhirnya, timbullah kesimpang-siuran dan
    kesalahpahaman di antara para hadirin.
  
  
  
    Tatkala kabar yang tidak jelas ini sampai ke telinga adz-Dzuhli, beliau pun
    berkata, “al-Qur’an adalah kalam Allah, bukan makhluk. Barangsiapa yang
    menganggap bahwa al-Qur’an yang saya lafalkan adalah makhluk -padahal Imam
    Bukhari tidak menyatakan demikian, pent- maka dia adalah mubtadi’/ahli
    bid’ah. Tidak boleh bermajelis kepadanya, tidak boleh berbicara dengannya.
    Barangsiapa setelah ini pergi kepada Muhammad bin Isma’il -yaitu Imam
    Bukhari- maka curigailah dia. Karena tidaklah ikut menghadiri majelisnya
    kecuali orang yang sepaham dengannya.”
  
  
  
    Semenjak munculnya ketegangan di antara adz-Dzuhli dan Bukhari ini maka
    orang-orang pun bubar  meninggalkan majelis Imam Bukhari kecuali Muslim
    bin Hajjaj -Imam Muslim- dan Ahmad bin Salamah. Saking kerasnya permasalahan
    ini sampai-sampai Imam adz-Dzuhli menyatakan,“Ketahuilah, barangsiapa yang
    ikut berpandangan tentang lafal -sebagaimana Bukhari, pent- maka tidak halal
    hadir dalam majelis kami.” Mendengar hal itu, Imam Muslim mengambil
    selendangnya dan meletakkannya di atas imamah/penutup kepala yang
    dikenakannya, lalu beliau berdiri di hadapan orang banyak meninggalkan
    beliau dan dikirimkannya semua catatan riwayat yang ditulisnya dari Imam
    adz-Dzuhli di atas punggung seekor onta. Ada sebuah pelajaran berharga dari
    Imam Muslim dalam menyikapi persengketaan yang terjadi diantara kedua imam
    ini. al-Hafizh Ibnu Hajarrahimahullah berkata, “Muslim telah bersikap adil
    tatkala dia tidak menuturkan hadits di dalam kitabnya -Shahih Muslim-, tidak
    dari yang ini -Bukhari- maupun yang itu -adz-Dzuhli-.”
  
  
  
    Pada akhirnya, Imam Bukhari pun memutuskan untuk meninggalkan Naisabur demi
    menjaga keutuhan umat dan menjauhkan diri dari gejolak fitnah. Beliau
    menyerahkan segala urusannya kepada Allah. Allah lah Yang Maha mengetahui
    keadaan hamba-hamba-Nya. Sebab beliau tidaklah menyimpan ambisi kedudukan
    maupun kepemimpinan sama sekali. Imam Bukhari berlepas diri dari tuduhan
    yang dilontarkan oleh orang-orang yang hasad kepadanya. Suatu saat, Muhammad
    bin Nashr al-Marruzi menceritakan: Aku mendengar dia -Bukhari- mengatakan,
    “Barangsiapa yang mendakwakan aku berpandangan bahwa al-Qur’an yang aku
    lafalkan adalah makhluk, sesungguhnya dia adalah pendusta. Sesungguhnya aku
    tidak berpendapat seperti itu.”
  
  
  
    Abu Amr Ahmad bin Nashr berusaha menelusuri permasalahan ini kepada Imam
    Bukhari. Dia berkata,“Wahai Abu Abdillah, di sana ada orang-orang yang
    membawa berita tentang dirimu bahwasanya kamu berpendapat al-Qur’an yang aku
    lafalkan adalah makhluk.” Maka Imam Bukhari menjawab,“Wahai Abu Amr,
    hafalkanlah ucapanku ini; Siapa pun diantara penduduk Naisabur dan
    negeri-negeri yang lain yang mendakwakan bahwa aku berpendapat al-Qur’an
    yang aku lafalkan adalah makhluk maka dia adalah pendusta. Sesungguhnya aku
    tidak pernah mengatakan hal itu. Yang aku katakan adalah perbuatan hamba
    adalah makhluk.”
  
  
  
    (Kisah ini disusun ulang dari Hadyu as-Sari Muqaddimah Fath al-Bari, hal.
    658-659)
  
  
  
  
    Pelajaran Yang Bisa Dipetik
    
      
    
    
      Kisah di atas mengandung banyak pelajaran berharga bagi kita kaum
      muslimin, terlebih lagi bagi para penimba ilmu dan para da’i. Pelajaran
      terpenting dari kisah ini adalah pentingnya setiap muslim maupun muslimah
      untuk mempelajari aqidah Islam dengan sebaik-baiknya agar terhindar dari
      berbagai penyimpangan pemahaman dan kesesatan. Karena aqidah inilah yang
      menjadi landasan agama kita. Hendaknya setiap muslim memahami hakikat
      keimanan dan tauhid yang menjadi intisari aqidah Islam.   Jangan
      sampai seorang muslim -apalagi penimba ilmu atau bahkan da’i- meremehkan
      masalah aqidah ini. Masalah aqidah adalah masalah yang sangat penting dan
      mendasar.
    
    
    
      Selain itu, kisah di atas juga memberikan pelajaran kepada kita untuk
      menjadi seorang penimba ilmu dan da’i yang ikhlas berjuang di jalan Allah.
      Bukan menjadi orang yang memburu popularitas atau beramal karena ingin
      mendapatkan pujian dan sanjungan manusia. Hendaklah kita menjadi orang
      yang berusaha untuk senantiasa mencari ridha Allah, bukan mengejar ridha
      manusia. Orang arab mengatakan, “Ridha manusia adalah cita-cita yang tak
      akan pernah tercapai.” Sebagaimana dikatakan oleh sebagian salaf bahwa
      ikhlas itu adalah melupakan pandangan manusia dengan senantiasa melihat
      kepada penilaian al-Khaliq, yaitu Allah.
    
    
    
      Kisah ini memberikan pelajaran kepada kita untuk berhati-hati dalam
      menerima dan menyampaikan berita. Karena bisa jadi berita yang kita terima
      tidak benar atau tidak sempurna sehingga akan menimbulkan kesalahpahaman
      bagi orang yang mendengarnya. Apalagi jika berita itu terkait dengan orang
      yang memiliki kedudukan di masyarakat, baik dari kalangan ulama ataupun
      penguasa. Kewajiban kita sebagai sesama muslim adalah menjaga kehormatan
      dan harga diri saudara kita, apalagi mereka adalah orang yang memiliki
      kedudukan dan keutamaan di mata publik.
    
    
    
      Kisah ini juga memberikan pelajaran kepada kita -terutama para da’i dan
      tokoh masyarakat- untuk menjaga lisan dan cermat dalam berkata-kata.
      Terlebih lagi jika kita berada di depan orang banyak, karena penggunaan
      kata-kata yang kurang tepat atau menimbulkan kerancuan bisa menimbulkan
      suasana yang kurang harmonis, kekacauan, dan bahkan permusuhan yang tidak
      pada tempatnya.
    
    
    
      Kisah ini juga memberikan pelajaran yang sangat berharga bagi kita,
      bahwasanya terkadang permasalahan atau perselisihan yang timbul diantara
      sesama guru atau da’i itu timbul dan semakin bertambah parah akibat ulah
      sebagian murid-murid mereka yang suka membuat masalah. Oleh sebab itu
      seorang guru harus objektif dan berhati-hati dalam menerima berita dari
      muridnya. Demikian pula, seorang murid juga tidak boleh sembarangan dalam
      menafsirkan perkataan gurunya tanpa meminta kejelasan terhadap ungkapan
      yang diduga bisa memicu permasalahan. Apalagi di dalam situasi fitnah
      (kekacauan), hendaknya seorang murid fokus kepada tugasnya yaitu belajar
      dan tidak disibukkan dengan qila wa qola (kabar burung) dan pembicaraan
      yang kurang bermanfaat baginya.
    
    
    
      Kisah ini juga memberikan pelajaran bagi kita, bahwasanya pembicaraan jarh
      wa ta’dil (kritikan dan pujian terhadap pribadi atau kelompok) bukanlah
      perkara sepele. Jarh wa ta’dil tidak seperti kacang goreng yang bisa
      dibeli dengan harga murah oleh siapa saja. Jarh wa ta’dil adalah ilmu yang
      sangat mulia. Ilmu yang membutuhkan pemahaman yang mendalam, ketelitian,
      dan kehati-hatian. Tidak semua orang boleh berbicara tentangnya dengan
      seenaknya, bahkan tidak setiap ulama ahli dan mapan di bidang ini. Jarh wa
      ta’dil juga memiliki kaidah dan batasan-batasan yang harus diperhatikan.
      Memang, memperingatkan dari kemungkaran adalah suatu kebaikan yang sangat
      besar. Akan tetapi mengingkari kemungkaran pun ada kaidahnya, tidak boleh
      secara serampangan.
    
    
    
      Kisah ini juga memberikan pelajaran kepada para penimba ilmu dan para da’i
      untuk membersihkan hati mereka dari sifat hasad atau dengki. Karena banyak
      permasalahan yang terjadi diantara mereka diantara penyebabnya adalah
      karena sifat yang tercela ini. Oleh sebab itu ada suatu ungkapan yang
      populer di kalangan para ulama Jarh wa Ta’dil : Kalamul aqraan yuthwa wa
      laa yurwa, artinya:“Kritikan antara orang-orang yang sejajar kedudukannya
      cukup dilipat -tidak diperhatikan- dan tidak diriwayatkan.” Karena
      terkadang kritikan yang muncul diantara sesama mereka adalah karena faktor
      hasad. Kita berlindung kepada Allah dari sifat yang demikian itu.
    
    
    
      Kisah ini juga memberikan pelajaran kepada kita untuk bersikap
      husnuzhan/berprasangka baik kepada saudara kita. Karena perasaan
      su’uzhan/buruk sangka yang tidak dilandasi dengan fakta-fakta yang kuat
      adalah termasuk perbuatan dosa. Selain itu, kisah ini juga memberikan
      pelajaran kepada kita untuk tidak suka mencari-cari kesalahan orang lain.
      Memang meluruskan kesalahan orang lain adalah termasuk nasehat, akan
      tetapi hendaknya kita tidak mencari-cari kesalahannya. Dan yang tidak
      kalah pentingnya adalah semestinya kita lebih sibuk untuk memperbaiki
      kesalahan-kesalahan diri kita sendiri, yang bisa jadi kesalahan kita itu
      tidak kecil dan tidak sedikit. Allahul musta’aan.
    
    
    
      Kisah ini juga menunjukkan kepada kita, bahwasanya seorang da’i harus siap
      menghadapi berbagai rintangan dan cobaan di tengah-tengah perjalanan
      dakwahnya. Seorang da’i harus senantiasa sabar dan tawakal kepada Allah
      dalam menyikapi berbagai masalah yang dijumpainya. Begitu pula seorang
      penimba ilmu. Bahkan, setiap orang yang beriman pasti mendapatkan ujian
      dari Allah yang menuntut mereka untuk bersabar tatkala mendapatkan musibah
      dan bersyukur tatkala mendapatkan kenikmatan.
    
    
    
      Kisah ini juga memberikan pelajaran kepada kita mengenai kebesaran hati
      dan kelapangan dada para ulama rabbani dalam menyikapi fitnah yang menimpa
      mereka serta menempuh sikap yang bijak demi menjaga keutuhan umat. Mereka
      menyadari bahwasanya tugas mereka sebagai ulama adalah mendakwahkan ilmu
      dan membimbing umat menuju kebaikan. Mereka sama sekali tidak menyimpan
      ambisi-ambisi politik atau mengejar target-target duniawi. Ulama sejati
      tidak takut celaan para pencela dan tidak khawatir apabila ditinggalkan
      jama’ah, selama dia tegak di atas kebenaran.
    
    
    
      Kisah ini juga memberikan pelajaran kepada kita tentang besarnya bahaya
      kebid’ahan; yaitu ajaran-ajaran baru yang tidak ada tuntunannya di dalam
      agama Islam. Bid’ah ini tidak hanya berkutat dalam masalah amalan, tetapi
      ia juga terjadi dalam masalah aqidah atau keyakinan. Bahkan, diantara
      keyakinan yang bid’ah itu ada yang bisa menyebabkan kafir bagi orang yang
      meyakininya. Oleh sebab itu para ulama salaf sangat keras dalam
      mengingkari para pelaku kebid’ahan. Sebagian diantara mereka mengatakan,
      “Bid’ah itu lebih dicintai Iblis daripada maksiat. Karena pelaku maksiat
      masih mungkin untuk bertaubat, sedangkan bid’ah hampir tidak mungkin
      pelakunya bertaubat.” Sebab pelaku kebid’ahan menganggap dirinya tidak
      melakukan kesalahan. Berbeda dengan pelaku maksiat yang masih mengakui
      bahwa dirinya memang telah berbuat maksiat.
    
    
    
      Kisah ini juga memberikan pelajaran kepada kita untuk bersikap teguh dalam
      membela kebenaran dan memerangi kebatilan walaupun harus menyelisihi
      banyak orang, bahkan meskipun mereka itu adalah orang-orang yang memiliki
      kedudukan di dalam pandangan kita. Sesungguhnya kebenaran itu diukur
      dengan al-Kitab dan as-Sunnah, bukan dengan si fulan atau ‘allan. Sebagian
      ulama salaf berpesan,“Hendaknya kamu mengikuti jalan kebenaran. Janganlah
      kamu merasa sedih karena sedikitnya orang yang menempuhnya. Dan jauhilah
      jalan-jalan kebatilan. Dan janganlah kamu merasa gentar karena banyaknya
      orang yang binasa.”
    
    
    
      Dan yang terakhir, kisah ini memberikan pelajaran kepada kita bahwa
      perselisihan yang terjadi diantara sebagian ulama -dalam sebagian
      permasalahan- adalah realita yang tidak bisa kita pungkiri. Sebagai
      penuntut ilmu kita dituntut untuk bersikap bijak dan menempatkan diri
      sebagaimana mestinya. Ulama adalah pewaris para nabi. Kita harus
      memuliakan dan menghormati mereka dengan tidak berlebih-lebihan di
      dalamnya. Di sisi lain, kita juga harus ingat bahwa ulama bukanlah nabi
      yang semua ucapannya harus diikuti. Meskipun demikian, kita tidak boleh
      meremehkan, melecehkan, atau bahkan menjelek-jelekkan mereka. Apabila
      kebenaran yang mereka sampaikan -yaitu berdasarkan al-Kitab dan as-Sunnah-
      maka wajib untuk diikuti. Namun, apabila sebaliknya maka tidak kita ikuti
      dengan  bersangka baik dan tetap menghargai jerih payah mereka. Imam
      Syafi’i rahimahullahberpesan kepada para pengikutnya, “Apabila kamu
      temukan di dalam bukuku sesuatu yang bertentangan dengan Sunnah/tuntunan
      Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam maka berpendapatlah dengan Sunnah
      Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan tinggalkanlah pendapatku.” -
      Penulis: Abu Mushlih Ari Wahyudi
      https://muslim.or.id/9748-pelajaran-berharga-dari-imam-bukhari.html