Pertanyaan
Saya memiliki seorang teman yang selalu berhujah dengan hadis “Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum, maka ia termasuk golongan mereka.” Dengan hadis itu ia sering menyebut orang lain tidak islami karena berpakaian ala-Barat atau makan dengan sendok, bukan dengan tangan, dan lain-lain. Saya memberitahunya bahwa itu boleh, sebab tidak ada dalil yang melarangnya. Tetapi ia selalu berdalil dengan “Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum, maka ia termasuk golongan mereka.” Sejauh mana penafsiran hadis ini?
— Nurdin, Pasir Tumbuh, Kelantan
Dijawab oleh: Shahibus Samahah Dato Prof. Dr. MAZA - Mufti Kerajaan Negeri Perlis
Jawaban
Saudara, sebagai peringatan; dalam berhujah menggunakan sebuah hadis, terlebih dahulu kita harus memeriksa kedudukan atau status hadis tersebut menurut para muhaddits (ahli hadis). Jika hadis itu terbukti sahih atau hasan, maka ia dapat dijadikan hujah dalam agama. Setelah hal tersebut dipastikan, barulah masuk ke tahap berikutnya yaitu mengkaji maksud matan (teks) hadis tersebut. Untuk menjawab pertanyaan yang dikemukakan, maka disebutkan beberapa hal berikut:
Hadis
مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ
"Barangsiapa menyerupai suatu kaum, maka ia termasuk golongan mereka."
Hadis ini diriwayatkan dari beberapa sahabat; Abdullah bin Umar, Huzaifah bin al-Yaman, dan Anas bin Malik. Antara ahli hadis yang mengumpulkan hadis ini adalah Abu Dawud, Ahmad bin Hanbal, Ibn Abi Syaibah, al-Bazzar, dan lain-lain.
-
Ibn Taimiyyah (w. 728 H) menilai hadis ini sahih.
-
Al-‘Iraqi (w. 806 H) juga menilainya sahih.
-
Ibn Hajar al-‘Asqalani (w. 852 H) menyatakan hadis ini hasan.
-
Demikian juga al-Albani.
Hadis ini secara umum memberikan maksud positif dan negatif:
-
Barangsiapa menyerupai suatu kaum atau kelompok yang terpuji, maka ia dianggap termasuk golongan terpuji.
-
Barangsiapa menyerupai kaum atau kelompok yang buruk, maka ia dianggap termasuk golongan mereka.
Makna Tasyabbuh
Kata man tasyabbaha (barangsiapa yang menyerupai), yakni tasyabbuh (menyerupai), dalam hadis ini merujuk pada sesuatu yang menjadi ciri khas suatu pihak. Jika seseorang menyerupai ciri khas tersebut, maka ia dianggap termasuk golongan mereka. Misalnya:
-
pakaian khusus suatu kelompok atau agama tertentu,
-
perayaan khusus agama tertentu,
-
majelis khusus untuk kelompok atau agama tertentu.
Maka ia dinilai sebagai bagian dari mereka.
Namun, jika perkara tersebut bukan ciri khas mereka, maka tidak termasuk.
Al-Imam al-Shan‘ani (w. 1182 H) berkata:
“Hadis ini menjadi dalil bahwa barangsiapa menyerupai golongan fasik, kafir, atau ahli bid‘ah dalam perkara-perkara yang khusus bagi mereka — baik pakaian, kendaraan, atau cara tertentu — maka ia termasuk golongan mereka. Jika ia menyerupai orang kafir dalam pakaian (khusus) dan beriktikad menjadi seperti mereka, maka ia telah kafir. Jika ia tidak beriktikad demikian, maka para fuqaha berbeda pendapat; ada yang menyatakan ia kafir secara zahir berdasarkan hadis, ada pula yang menyatakan tidak kafir, tetapi tetap harus dihukum (oleh pemerintah).” (Subul as-Salam, 4/321, Beirut: Muassasah Fuad)
Contoh Penyerupaan yang Haram
-
Memakai salib,
-
Pakaian khusus pendeta atau biksu,
-
Amalan khusus agama lain seperti bertafakur di kuil.
Hal ini haram. Jika disertai keyakinan (iktikad) seperti mereka, maka kafir. Jika sekadar ikut-ikutan tanpa niat kufur, tetap haram. Ulama berbeda pendapat: ada yang menganggap kufur, ada yang mengatakan tidak, tetapi tetap berdosa.
Saya sependapat dengan pandangan bahwa jika seorang Muslim menyerupai orang kafir tanpa niat kufur, maka ia berdosa, tetapi tidak keluar dari Islam. Namun jika penyerupaan lahiriah disertai keyakinan batiniah seperti mereka, maka ia kafir.
Penyerupaan yang Tidak Termasuk
Perlu ditegaskan, penyerupaan dalam hadis ini adalah penyerupaan dalam hal yang khusus untuk suatu agama atau kelompok. Jika perkara tersebut tidak khusus, maka hadis ini tidak berlaku.
Dalam era globalisasi, banyak budaya dan adat yang telah dikongsi berbagai pihak, seperti:
-
pakaian,
-
makanan,
-
bangunan,
yang tidak lagi khusus bagi agama tertentu.
Maka harus teliti membedakan apa yang khusus dan apa yang umum. Contoh:
-
pakaian orang non-Muslim tidak selalu melambangkan agama mereka,
-
makan dengan sendok-garpu atau sumpit,
-
memakai jas,
-
rumah bergaya Inggris atau Jepang,
semua itu bukan khusus agama.
Contoh dari Hadis Lain
Nabi ﷺ pernah memakai jubah Romawi (dalam riwayat lain disebut jubah Syam) yang sempit di bagian lengan (HR. Bukhari dan Muslim). Padahal bangsa Romawi ketika itu beragama Kristen.
Ibn Taimiyyah (w. 728 H) menjelaskan bahwa Rasulullah ﷺ pernah memakai gamis, serban, kain sarung, ridak, jubah, pakaian dari kapas, wol, dan sebagainya — termasuk yang berasal dari Yaman dan Mesir.
Kesimpulan beliau:
Sunnah Rasulullah ﷺ adalah memakai pakaian dan makanan yang mudah didapat di negeri masing-masing. Hal ini berbeda-beda sesuai kondisi negeri. (Majmu‘ Fatawa, 11/541, Riyadh: Maktab al-‘Abikan)
Meniru Perkara yang Baik
Meniru sesuatu yang baik dan bermanfaat, sekalipun berasal dari non-Muslim, tidak dilarang. Bahkan jika diakui masyarakat umum sebagai sesuatu yang baik, maka boleh.
Contoh: Nabi ﷺ ketika hendak menulis surat ke Romawi, diberitahu bahwa mereka tidak membaca surat tanpa stempel. Maka beliau membuat stempel dari perak, bertuliskan Muhammad Rasulullah (HR. Bukhari dan Muslim).
Ini bukti bahwa Nabi ﷺ menerima kebiasaan suatu kaum selama tidak bertentangan dengan Islam.
Batasan
Berdasarkan hadis “Barangsiapa menyerupai suatu kaum, maka ia termasuk golongan mereka”, Muslim dilarang meniru gaya, perilaku, atau pakaian yang menjadi identitas pihak jahat atau fasik.
Al-Imam al-Munawi berkata:
“Jika kaum fasik atau ahli maksiat mengkhususkan suatu pakaian, maka dilarang seseorang memakainya karena bisa menimbulkan sangkaan buruk bahwa ia termasuk golongan mereka. Akhirnya berdosa baik yang berprasangka maupun yang dituduh, sebab ia penyebab sangkaan itu.” (Faidh al-Qadir, 6/135, Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah)
Maka, anak muda yang meniru pakaian atau gaya artis yang dianggap buruk oleh masyarakat ikut menanggung dosa.
Kesimpulan
-
Dilarang meniru hal yang khusus untuk agama lain, atau hal yang khusus untuk kelompok dengan nilai buruk.
-
Boleh meniru hal yang tidak khusus untuk agama tertentu, atau tidak menimbulkan citra buruk.
-
Dianjurkan meniru hal yang baik, meskipun berasal dari non-Muslim.
Naskah asli berbahasa Melayu di sini:
https://muftiperlis.gov.my/index.php/en/minda-mufti/51-maksud-hadis-sesiapa-menyerupai-sesuatu-kaum