Menelusuri ketegangan klasik antara ahli hadis dan ahli fiqh, serta bagaimana perbedaan pendekatan mereka memengaruhi kelahiran fatwa dan praktik syariah dalam menghadapi tantangan zaman modern.
Oleh : Shahibus Samahah Dato Prof. Dr. MAZA - Mufti Kerajaan Negeri Perlis - Arsip 07/2025
📌 Ketika Dalil Tak Lagi Cukup, dan Fatwa Tak Lagi Tegas — Siapa yang Bertanggung Jawab?
Di antara banyak cabang keilmuan dalam Islam, dua yang paling sering berperan dalam membentuk wajah hukum Islam ialah ilmu fiqh dan ilmu hadis. Keduanya lahir dari semangat merawat wahyu dan menuntun umat melalui landasan hukum yang otentik. Namun hari ini, pertanyaannya bukan lagi mana yang lebih utama, tetapi mengapa keduanya semakin sering berjalan sendiri-sendiri — dan apa akibatnya jika itu dibiarkan?
Sebagian ahli hadis sibuk menyaring sanad, tapi menutup mata dari kebutuhan fatwa umat yang semakin kompleks. Di sisi lain, sebagian ahli fiqh merasa cukup dengan logika hukum, meski dibangun di atas dalil yang tidak sahih. Akibatnya, lahirlah ketegangan: satu sisi terlalu tekstual dan rigid, sisi lain terlalu kontekstual tapi longgar pijakan. Lalu, di mana tempatnya ijtihad yang sehat?
Kuliah ini mengajak kita menyelami kritik mendasar terhadap cara kerja dua komunitas ilmiah yang sejatinya tidak boleh tercerai. Dengan bahasa yang lugas, dijelaskan bagaimana Islam tidak bisa terus-menerus hanya dikawal oleh hafalan, tapi juga harus dijaga dengan pemahaman — bukan hanya tentang apa yang dikatakan teks, tetapi apa maksud, tujuan, dan implikasinya terhadap umat.
Dibahas pula bagaimana kemajuan teknologi dan perubahan sosial memaksa fiqh untuk merespons isu-isu baru — seperti penyimpanan sel reproduksi manusia, penggunaan teknologi medis dalam perencanaan keturunan, hingga persoalan bioetik yang tidak tersurat dalam nash. Jika para ulama tidak bersatu dalam menjawabnya, maka umat akan berpaling dari syariat yang dirasa tak lagi membumi.
🧠 Ilmu bukan sekadar mengulang dalil lama, tapi membacanya kembali dalam terang zaman yang baru.
Kuliah ini adalah seruan halus sekaligus tegas: bahwa Islam tidak bisa dipertahankan dengan ilmu yang statis, apalagi ilmu yang sombong berjalan sendiri. Saatnya kita kembali menyatukan otoritas — antara mereka yang menjaga keaslian teks, dan mereka yang menggali kedalaman makna.
🎧 Dengarkan lebih jauh isi lengkapnya, dan temukan: mengapa integrasi fiqh dan hadis bukan cuma idealisme — tapi sebuah keniscayaan ilmiah.
✨ Ringkasan Faedah Lengkap
1. 🔍 Analogi Medik: Hadis adalah Obat, Fiqh adalah Diagnosa
-
Dulu, ulama menggambarkan ahli hadis seperti apotekar — mereka menghimpun, menyusun, dan menguasai “obat” berupa hadis-hadis Rasulullah ﷺ.
-
Sementara ahli fiqh ibarat dokter — yang tahu kondisi pasien dan mampu menetapkan dosis serta metode penggunaan yang tepat.
-
Artinya, keduanya saling membutuhkan, dan tidak bisa berdiri sendiri secara otoritatif.
2. ⚠️ Kritik terhadap Fragmentasi Ilmu
-
Ahli hadis seringkali tidak masuk ke medan ijtihad fiqh, hanya fokus pada sanad dan matan, sehingga kurang memahami konteks dan implikasi hukum.
-
Sebaliknya, sebagian ahli fiqh terlalu bebas dalam berfatwa hingga menggunakan hadis lemah atau palsu tanpa verifikasi yang ketat.
-
Ketika ini terjadi, maka hukum menjadi kehilangan pijakan yang kuat, dan umat dirugikan oleh fatwa-fatwa yang tidak valid.
3. 🏗️ Upaya Integratif: Sintesis Hadis dan Fiqh oleh Ulama Besar
-
Dalam sejarah, muncul tokoh reformis yang tidak hanya hafal hadis, tapi juga ahli dalam fiqh.
-
Mereka merintis pendekatan yang memadukan dua disiplin, menghasilkan ijtihad yang bersumber dari dalil sahih dan pemahaman hukum yang kontekstual.
-
Pendekatan ini menjadi fondasi metodologi ushul fiqh dalam mazhab-mazhab utama.
4. 🚀 Tantangan Kontemporer: Fiqh di Tengah Revolusi Teknologi
-
Isu-isu modern seperti penyimpanan sperma/ovum, bayi tabung, hingga penggunaan teknologi untuk kesuburan memunculkan pertanyaan baru dalam hukum Islam.
-
Contoh:
-
Jika seorang wanita belum menikah dan menyimpan ovumnya untuk digunakan setelah menikah, apakah dibolehkan?
-
Jika seorang pria menyimpan spermanya sebelum menjalani operasi medis lalu menggunakannya saat sudah menikah, apakah sah?
-
Bagaimana jika spermanya digunakan setelah ia wafat? ❌ Tidak diperbolehkan.
-
-
Semua itu tidak dijelaskan secara eksplisit dalam hadis, tapi harus ditimbang melalui pendekatan fiqh yang mempertimbangkan maqashid syariah (tujuan syariat), seperti menjaga keturunan dan kehormatan keluarga.
5. 📚 Fiqh sebagai Instrumen Hidup, Bukan Sekadar Teks Beku
-
Kehidupan manusia terus berkembang dan menimbulkan kasus-kasus baru yang belum pernah ada sebelumnya.
-
Oleh karena itu, fiqh tidak boleh kaku dan literalistik. Ia harus:
-
Berpijak pada nash (dalil)
-
Bertumpu pada maqashid (tujuan syariat)
-
Responsif terhadap realitas
-
-
Jika tidak, maka umat akan terjebak pada fatwa-fatwa yang tidak menjawab kebutuhan zaman.
🔎 Penutup: Integrasi Ilmu Adalah Kunci Kejayaan Hukum Islam
Perbedaan antara ulama fiqh dan ulama hadis bukan untuk dipertentangkan, tetapi untuk disatukan dalam bangunan keilmuan Islam yang utuh dan relevan. Ketika integrasi ini terjadi, lahirlah hukum yang bukan hanya sah secara dalil, tapi juga bermanfaat secara sosial dan etis.
Audio ini mengajak kita untuk meninjau ulang cara berpikir kita dalam memahami Islam. Ia menantang kita agar tidak hanya puas pada hafalan dan kutipan, tapi juga berani masuk ke dalam medan tafsir realitas — demi menegakkan hukum Islam yang adil, bijak, dan hidup sepanjang zaman.
✊ Jika Islam ingin terus menjadi solusi peradaban, maka sudah waktunya kita menjembatani kembali jurang antara teks dan konteks — antara wahyu dan realita — antara hadis dan fiqh.
🎧 Dengarkan selengkapnya. Karena memahami agama secara utuh, tidak cukup hanya dengan membaca. Ia butuh renungan, koneksi ilmu, dan keberanian untuk berpikir. 💬📖