} -->

Al-Mu‘tazilah Dan Hubung Kaitnya Dengan Mihnah Khalaq Al-Qur’An

International Journal of Civilizational Studies and Human Sciences

AL-MU'TAZILAH DAN HUBUNGANNYA DENGAN MIHNAH KHALAQ AL-QUR'AN

Note : Sudah ditranslate ke dalam bahasa Indonesia. Transkrip asli bisa baca pada PDF.



Abstrak

Mihnah khalaq al-Qur'an adalah sebuah peristiwa yang memicu perdebatan di kalangan pihak penguasa kerajaan dan sarjana Islam. Perdebatan tersebut terkait dengan apakah al-Qur'an itu makhluk atau bukan. Pemerintah saat itu bertanggung jawab atas terjadinya peristiwa ini. Oleh karena itu, penulisan ini bertujuan untuk melihat bagaimana peran pemerintah pada saat itu terhadap peristiwa ini. Metode penelitian yang digunakan adalah kualitatif dengan menganalisis dokumen terkait dengan topik ini. Hasil penelitian menunjukkan bahwa peristiwa ini terjadi pada masa pemerintahan al-Ma'mun al-Rashid dan berakhir pada masa pemerintahan al-Mutawakil. Penelitian ini juga menunjukkan pentingnya memahami pandangan al-Mu'tazilah terhadap mihnah ini yang didukung oleh pemerintah saat itu.

Pengenalan

Kerajaan Abbasiyah adalah kerajaan yang terkenal dengan zaman keemasan Islam. Banyak tokoh dan kitab-kitab telah dihasilkan yang masih diwarisi hingga saat ini. Namun, tidak banyak di antara kita yang membicarakan peristiwa khalaq al-Qur'an yang menjadi pertikaian selama 15 tahun ketika golongan al-Mu'tazilah menguasai pemerintahan. Peristiwa ini dimulai di pertengahan masa pemerintahan al-Ma'mun al-Rashid hingga pemerintahan al-Mutawakkil. Peristiwa ini memiliki hubungan erat dengan masalah akidah sehingga menyebabkan banyak sarjana agama tertarik dengan peristiwa ini. Akibatnya, pemerintah al-Mu'tazilah menempatkan dan menyatakan al-Qur'an sebagai makhluk dalam kebijakan pemerintahan kerajaan al-Mu'tazilah saat itu.

Pengertian Mihnah

Al-Mihnah berarti al-baliyah atau al-ikhtiyar yang berarti ujian, atau cobaan, atau bencana. Sementara itu, al-Mihnah dalam arti lain berarti ma yantahinu bihi al-insan min baliyatih yang berarti apa yang menjadi ujian bagi manusia dalam bentuk cobaan hidup (Rochimah 2012).

Al-Mihnah juga memiliki makna khusus ketika dikaitkan dengan ujian dan penderitaan yang dialami oleh para muhaddithin, fuqaha', pemimpin negara, dan hakim pada masa mihnah khalaq al-Qur'an. Hal ini disebabkan oleh keteguhan mereka dalam mempertahankan pendapat yang menyatakan bahwa al-Qur'an bukanlah makhluk (Rochimah 2012).

Sejarah Mihnah Khuluq al-Qur’an

Mihnah Khuluq al-Qur'an adalah sebuah peristiwa yang terjadi selama 15 tahun selama zaman kekuasaan Bani Abbasiyah. Peristiwa ini terjadi setelah kematian Yazid ibn Harun dan penggantinya, Yahya ibn Aksan, digantikan oleh Ahmad ibn Daud, seorang tokoh al-Mu'tazilah (Abu Zahrah 1996). Peristiwa ini terjadi pada pertengahan pemerintahan al-Ma'mun ibn al-Rashid hingga pemerintahan al-Mutawakkil ibn al-Mu'tasim.

Setelah al-Mutawakkil naik menjadi khalifah, situasi ini akhirnya terkendali. Hal ini karena al-Mutawakkil mengeluarkan perintah untuk tidak lagi menghubungkan al-Qur'an dengan makhluk. Dengan ini, berakhir sudah masa-masa mihnah yang telah menyiksa manusia (Abu Ghudah 2015).

Pencetus Peristiwa

Golongan al-Mu'tazilah adalah kelompok yang bertanggung jawab atas peristiwa hitam ini (Rochimah 2012). Mereka adalah kelompok aliran yang berpikir rasional. Mereka menyusun konsep-konsep pemikiran secara sistematis dan filsafat dalam memahami ajaran Islam. al-Mu'tazilah telah menolak sifat-sifat ma'ani bagi zat Allah SWT yaitu qudrah, iradah, sama', basar, dan kalam (Abu Zahrah 1996).

al-Mu'tazilah muncul pada abad pertama Hijriah di Basra sebagai gerakan reaksi terhadap kaum Khawarij yang sangat keras dan fanatik, dan terhadap cara kaum Murji'ah berpolitik. Namun, dalam perkembangannya, pemikiran aliran ini lebih banyak menggunakan metode dan logika Yunani. Ketika aliran ini ada dalam pemikiran Islam, ia dianggap sebagai rasional dan liberal.

Corak dan daya tarik tersendiri dalam kalangan intelektual, terutama dari kalangan pemerintah Islam pada permulaan abad ke-9M, khususnya pada zaman Khalifah ‘Abbasiyyah. Bahkan al-Ma’mun, yang merupakan khalifah ‘Abbasiyyah pada saat itu, telah menetapkan mazhab al-Mu‘tazilah sebagai pegangan akidah resmi negara.

Rentetan dari aliran mazhab al-Mu‘tazilah yang dijadikan pegangan akidah resmi negara, tidak dapat lepas dari tujuan untuk kepentingan politik negara. al-Mu‘tazilah kemudian dipergunakan sebagai alat politik untuk mengukuhkan kedudukan dan kekuasaan. Hal ini jelas dari pelaksanaan mihnah yang pada awalnya hanya digunakan untuk mencari persamaan pandangan atau ajaran dengan golongan-golongan yang lain. Namun setelah itu, aliran pemikiran al-Mu‘tazilah ini berubah menjadi suatu kewajiban dan paksaan kepada golongan-golongan lain untuk berpegang kepadanya. Hal ini dapat dilihat dalam situasi yang terjadi terutama jika mengancam kredibilitas khalifah. Kewajiban untuk berpegang kepada ajaran dan aliran ini biasanya dilakukan dengan kekerasan.

Berdasarkan kenyataan di atas, penulis dapat menyimpulkan bahwa falsafah al-Mu‘tazilah telah mencetuskan fenomena baru dalam senario pemikiran masyarakat pada saat itu. Aliran pemikiran ini diterima secara paksa oleh penguasa pada saat itu yang juga merupakan cendekiawan al-Mu‘tazilah. Oleh karena itu, muncul sebuah aliran pemikiran baru yang didominasi oleh al-Ma’mun yang juga merupakan pemerintah pada saat itu.

Dengan demikian, al-Mu‘tazilah dianggap berhasil muncul di tengah kaum Khawarij dan Murji’ah dalam permasalahan ini. Ia juga dilihat memiliki daya tarik yang tersendiri di kalangan intelektual dan pemerintah Islam pada permulaan abad kesembilan, khususnya pemerintah ‘Abbasiyyah, sehingga kita melihat di dalam sejarahnya al-Ma’mun menetapkan Mu‘tazilah sebagai mazhab rasmi negara setelah ia menjabat sebagai khalifah Bani Abbasiyah.

Al-Ma'mun dan al-Rashid

Tidak dapat disangkal bahwa al-Ma'mun al-Rashid adalah seorang yang memiliki pengetahuan yang luas. Bahkan, ia mahir dalam ilmu hadis dan ilmu fiqh. Ketika dewasa, ia banyak memusatkan perhatiannya pada ilmu falsafah yang berasal dari Yunani, sehingga membuatnya menjadi ahli dalam ilmu ini. Ia memiliki sejarah hidup yang panjang dan penuh dengan kebaikan. Namun, sejarah hidupnya sedikit tercemar dengan sebuah peristiwa kontroversial ketika ia mengatakan bahwa Al-Qur'an adalah makhluk.

Pada tahun 212H, al-Ma'mun secara terang-terangan menyatakan dua pendiriannya yaitu Al-Qur'an adalah makhluk dan bahwa 'Ali ibn Abi Talib lebih utama daripada Abu Bakar al-Siddiq dan 'Umar al-Khattab. Hal ini menyebabkan umat muslim merasa kesal terhadap pernyataannya dan hampir menyebabkan bencana besar. Akhirnya, masyarakat melakukan protes keras terhadap al-Ma'mun dan menghentikan ide-ide kontroversial yang ia cetuskan (Abu Zahwun 1984). Di bawah pengaruh Bisr al-Marisi, al-Ma'mun mengumumkan Mu'tazilah sebagai doktrin atau fahaman resmi negara dan menggunakan kekerasan terhadap siapa pun yang tidak sejalan dengan ideologinya. Doktrin utama adalah bahwa Al-Qur'an adalah makhluk.

Abi Ishaq al-Mu’tashim ibn Harun

Setelah al-Ma'mun meninggal pada tanggal 18 Rejab 218H, saudaranya, yaitu al-Mu'tasim, menggantikan posisinya sebagai penguasa kedelapan dari dinasti Abbasiyah. Berbeda dengan saudaranya yang mencintai ilmu pengetahuan, al-Mu'tasim cenderung lebih memperhatikan para prajurit dan kurang tertarik pada ilmu pengetahuan.

Al-Mu'tasim memperlakukan dengan kejam siapa pun yang melawan ideologi negara, dan beberapa orang bahkan dijatuhi hukuman mati. Salah satu yang sangat menderita adalah Ahmad ibn Hanbal, seorang tokoh terkenal. Namun, ia selamat dari hukuman mati karena al-Mu'tasim khawatir akan bangkitnya pendukung imam mazhab ini yang mungkin dapat mengancam stabilitas dan keamanan negara. Oleh karena itu, Ahmad ibn Hanbal dibebaskan dari penjara setelah dipenjara selama 28 bulan.

Ahmad ibn Hanbal terkenal sebagai tokoh yang sangat teguh pendiriannya dan tidak mudah terpengaruh oleh pemikiran orang lain, bahkan jika ditekan oleh pemerintah. Ia juga menolak setiap tawaran atau tekanan untuk mengakui sesuatu atas dasar taqiyah. Taqiyah adalah sikap "kehati-hatian" dalam pemikiran kaum Syiah. Setelah al-Mu'tasim meninggal pada tahun 227H, pegangan ini juga diteruskan oleh al-Wasiq hingga ia meninggal pada tahun 232H. Peristiwa ini mencapai puncaknya pada awal masa pemerintahan al-Mutawakkil pada tahun 232H setelah ia menggantikan al-Wasiq yang telah meninggal pada tahun tersebut.

Penerapan Khalaq al-Qur’an Sebagai Mazhab Rasmi al-Mu‘tazilah

Khalifah Al-Ma'mun adalah khalifah pertama yang mencetuskan mihnah. Beliau adalah penguasa kerajaan Abbasiyah yang sangat tertarik dengan ilmu pengetahuan dan falsafah. Beliau cenderung berpikir bebas dan rasional, yang membuatnya semakin dekat dengan pemikiran dan tokoh aliran al-Mu'tazilah. Sebagai pengikut yang fanatik, al-Ma'mun merasa terpanggil untuk melaksanakan salah satu dari 'Lima Prinsip Pokok' (al-usul al-khamsah bagi ajaran al-Mu'tazilah), yaitu al-amr bi al-ma'arif wa al-nahyu 'an al-munkar secara sungguh-sungguh dengan menggunakan tangan kekuasaan yang dimilikinya.

Peristiwa tersebut berhasil diterapkan karena salah satu doktrin al-Mu'tazilah. Selain itu, karena kerajaan Abbasiyah menggunakan sistem teokrasi, para khalifah merasa bertanggung jawab untuk menjaga keimanan (akidah) umat dari fahaman syirik serta mengembalikannya kepada fahaman tauhid yang murni, yang sesuai dengan tuntutan al-Qur'an yang dikehendaki kepada seluruh umat muslim.

Sebenarnya, tidak lama setelah memegang takhta khalifah, al-Ma'mun telah bertekad untuk memasyarakatkan pemikiran kemakhlukan al-Qur'an melalui era al-mihnah. Namun, beliau sangat khawatir langkah politiknya itu akan mengganggu pemulihan kesatuan rakyat yang telah terpecah setelah kegemilangan pasca kewafatan Harun al-Rashid. Oleh karena itu, rencana tersebut ditangguhkan. Setelah enam tahun masa pemerintahannya dan atas desakan dari tokoh-tokoh utama Mu'tazilah seperti Thumamah ibn al-'Ashrash dan Ahmad ibn Abi Du'ad (dua orang penasihat kerajaan), al-Ma'mun menyatakan hasratnya untuk menjadikan aliran pemahaman tersebut sebagai aliran resmi negara.

Pada akhir masa pemerintahannya (sekitar 4 bulan sebelum wafat), al-Ma'mun memerintahkan beberapa gubernurnya untuk memanggil hakim dan ulama, serta memaksa mereka untuk mengakui di depan umum bahwa Al-Qur'an adalah makhluk. Surat pertama dikirimkan kepada gubernur di Baghdad, yaitu Ishak ibn Ibrahim, pada bulan Rabi' al-Awwal 218 H/833 M. Surat tersebut berisi perintah untuk memeriksa pandangan setiap pejabat dalam negara, termasuk hakim, mengenai masalah kitab suci Al-Qur'an, dengan ancaman akan dipecat dari jabatan bagi yang menolak dan dijanjikan ganjaran bagi yang patuh (al-Tabari 2009).

Ternyata, sebagian besar pegawai pemerintah mematuhi pandangan pemerintah, yang dibuktikan dengan kesediaan mereka untuk menyetujui pendirian pemerintah mengenai kemakhlukan Al-Qur'an. Alasan kepatuhan itu adalah karena mereka tidak memiliki cukup pendirian untuk memberanikan diri menentang, sekaligus menanggung akibat dari pemecatan jabatan mereka dalam pemerintahan, yang mengakibatkan hilangnya sumber penghidupan mereka (Saifudin 2012).

Kebijakan yang dikeluarkan oleh al-Ma'mun ini didasarkan pada kewajibannya sebagai seorang khalifah untuk memelihara kemurnian agama dan menegakkan kebenaran dalam masyarakat. Oleh karena itu, semua pejabat negara, hakim, dan qadi harus memiliki keimanan yang benar (Rochimah 2012).

Kesimpulan

Sebenarnya peristiwa hitam ini jarang dibahas kepada masyarakat, ironisnya kita melihat para sarjana Islam terpaksa bertarung pendirian untuk menyatakan bahwa al-Qur'an bukanlah makhluk, seperti yang dihadapi oleh Imam Ahmad. Maka kita melihat al-Ma'mun adalah seorang pemerintah yang bertanggung jawab menghidupkan api keyakinan ini yang kemudian dipicu lebih lanjut oleh pemerintah setelahnya yaitu al-Mu'tasim dan al-Wasiq.

Rujukan

Lihat pada PDF

About

  رَبَّنَا ٱغْفِرْ لَنَا وَلِإِخْوَٰنِنَا ٱلَّذِينَ سَبَقُونَا بِٱلْإِيمَـٰنِ وَلَا تَجْعَلْ فِى قُلُوبِنَا غِلًّا لِّلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ رَبَّنَآ إِنَّكَ رَءُوفٌۭ رَّحِيمٌ

Ya Rabb kami, beri ampunlah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dulu dari kami, dan janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman; Ya Rabb kami, Sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyayang.

TRENDING