} -->

Syiah, Mazhab Berlandaskan Nostalgia Sejarah

SYIAH: MAZHAB BERLANDASKAN NOSTALGIA SEJARAH

Ditulis Oleh:

Prof Dato Arif Perkasa Dr Mohd Asri Bin Zainul Abidin
Mufti Kerajaan Negeri Perlis

02 Disember 2019


1.  Syiah adalah sebuah mazhab yang tumbuh atas "nostalgia" terhadap sejarah. Bulan Muharram adalah waktu di mana golongan Syiah mengekspresikan kesedihan mereka terhadap peristiwa masa lalu. Isu pembunuhan Saidina Hussain yang terjadi empat belas abad yang lalu diwarisi sebagai dendam yang tak berkesudahan. Banyak yang menjadi sasaran kemarahan tersebut. Dendam itu tidak hanya ditujukan kepada mereka yang terlibat dalam peristiwa tersebut, tetapi juga kepada mereka yang setelahnya enggan mengikuti pandangan politik yang sama. Akibatnya, Ahlus Sunnah menjadi sasaran "kemarahan warisan".


2.  Sebenarnya, Syiah bukan bermula dari isu pokok dalam Islam. Awalnya, itu hanyalah aliran politik atau istilah modernnya "politik kepartian" yang kemudian dibentuk dan diperkuat sehingga menjadi dogma agama yang sulit dihapuskan. Isu-isu yang berkaitan dengan tindakan pemerintahan pada zaman Saidina Uthman, dimanfaatkan oleh pihak tertentu untuk membentuk aliran politik pada masa itu. Seiring berjalannya waktu, dalam upaya untuk memperkuat "partai" dan mendapatkan lebih banyak pengikut, berbagai ayat dan hadis mulai diberikan tafsiran yang memiliki kepentingan politik, bahkan diciptakan ayat-ayat baru yang sengaja dibuat.


EMOSI

3.   Artinya, krisis politik di kalangan umat Islam setelah wafatnya Nabi s.a.w telah diwarisi dengan sikap emosional dan kekeliruan. Di sini, "emosi" mengacu pada pandangan isu-isu tersebut hanya dari sudut kehendak aliran politik tertentu atau sentimen tertentu tanpa mencoba untuk memahaminya secara holistik. Isu tentang khalifah atau kepemimpinan yang ingin dijadikan warisan bagi keluarga Nabi s.a.w (Ahlul Bait), jika diterima, akan menafikan sifat Islam sebagai agama yang tidak mendukung nepotisme atau kepentingan keluarga. Kelayakan seseorang dalam kepemimpinan menurut nash-nash Islam yang dipegang dalam aliran Ahlus Sunnah wal Jama'ah didasarkan pada kemampuan (al-quwwah) dan amanah (al-amanah).

Sistem warisan kepemimpinan seperti yang dipegang oleh Syiah akan menciptakan kasta aristokrat atau bangsawan yang akhirnya dianggap tidak bisa berbuat kesalahan (infallible) dan tidak boleh dipertanyakan. Ini karena kelayakan kepemimpinan mereka bukan didasarkan pada kemampuan kepemimpinan, melainkan ditentukan secara warisan, sehingga mereka dianggap seperti wakil Tuhan yang menerima wahyu. Akibatnya, semangat musyawarah dalam pemilihan kepemimpinan menjadi terkikis.


KEKELIRUAN

4.   Kekeliruan dalam konteks ini terkait dengan keyakinan pengikut Syiah terhadap warisan sejarah. Mereka mewarisi peristiwa-peristiwa sejarah dari masa lalu dengan yakin tanpa menyelidiki kebenaran fakta-fakta tersebut. Atau mungkin fakta-fakta tersebut sebenarnya hanya desas-desus politik atau cerita-cerita yang ditambah-tambahkan demi kepentingan politik.

Berdasarkan apa yang mereka baca atau warisi mengenai cerita-cerita buruk tentang para sahabat Nabi s.a.w, terutama Abu Bakar, 'Umar, Uthman, Muawiyah, 'Amr bin al-'As, atau yang lainnya, mereka menelan begitu saja dengan penuh kebencian dan kemarahan yang berasal dari "politik warisan". Mereka tidak lagi memiliki waktu untuk bertanya sejauh mana kebenaran dari fakta-fakta tersebut. Hal ini karena berita buruk tersebut adalah hasil dari "musuh politik" mereka.

Ini bisa dilihat seperti ketika musuh-musuh politik saling berhadapan dalam pertarungan politik, di mana cerita-cerita buruk tentang musuh-musuh tersebut ditelan mentah-mentah dan disebarkan sebanyak-banyaknya.


5.   Hal ini dimulai pada akhir pemerintahan 'Uthman bin 'Affan. Fitnah bermula. Dia dituduh menyalahgunakan kuasa, memihak kepentingan keluarga, dan berbagai tuduhan lainnya. Meskipun sejarah mencatat bahwa Saidina 'Uthman telah dengan tegas dan mantap menjawab semua tuduhan tersebut, namun jawaban-jawaban itu tidak pernah sampai kepada mereka, karena mereka enggan membaca atau mengetahui kebenaran dari musuh politik mereka. Sebenarnya, Saidina 'Uthman berusaha untuk menahan gerakan fitnah yang dilancarkan oleh seorang Yahudi bernama Abdullah bin Saba – suatu karakter yang diakui keberadaannya oleh sumber Syiah dan Sunni. Dialah yang memulai kampanye untuk menjatuhkan 'Uthman. Ia mencampuri isu-isu politik dengan berbagai tafsiran agama, termasuk menyatakan bahwa 'Ali bin Abi Talib adalah warisan Nabi s.a.w dalam kepemimpinan politik. Rakyat terkejut. Mereka tidak memiliki pengalaman politik seperti itu. 

Khalifah 'Uthman yang bijaksana menulis surat untuk rakyat: "Aku mengangkat pejabat-pejabatku dengan persetujuanku setiap musim. Sejak aku memerintah, aku telah mengutamakan amar ma'ruf nahi munkar (mengajak kepada kebaikan dan mencegah kemungkaran) dalam pemerintahanku. Tidak ada suatu kasus pun yang diajukan kepadaku atau pejabat-pejabatku, kecuali aku memberikan hak mereka. Tidak ada hakku atau hak keluargaku yang menyentuh rakyat jelata tanpa memberikan hak tersebut kepada mereka. Penduduk Madinah memberitahuku bahwa ada kelompok yang mencela aku secara tersembunyi, atau siapa pun yang mengklaim sesuatu, maka jika waktunya telah tiba, ambillah haknya di mana saja dia berada, dari pihakku atau pejabat-pejabatku, atau dia dapat memaafkanku. Sesungguhnya Allah memberi pahala kepada orang-orang yang memaafkan." Ketika surat ini dibacakan di setiap wilayah, rakyat jelata pun menangis dan berkata: "Sungguh, ada kejahatan yang bergerak di kalangan umat ini" (Al-Tabari, Tarikh al-Tabari, 4/342. Beirut: Rawai’ al-Turath al-‘Arabi).


6.   Namun karena reka cerita itu atas kepentingan politik, fitnah terus disebarkan. Hampir seluruh sahabat Nabi s.a.w tidak terpengaruh oleh fitnah itu, tetapi pengaruhnya dirasakan oleh mereka yang bukan sahabat yang hidup pada masa tersebut. Akibatnya, para pemberontak datang ke Madinah dan berdialog dengan 'Uthman sendiri. Semua fitnah tersebut dijawab dengan tegas oleh 'Uthman. Mereka terdiam. Para sahabat yang menyaksikan mengakui hujah-hujah 'Uthman. Salah satunya adalah ketika 'Uthman berkata: "Ketahuilah ketika aku menjadi khalifah, aku adalah orang Arab yang paling banyak memiliki unta dan kambing. Namun sekarang aku hanya memiliki dua ekor unta yang aku gunakan untuk menunaikan ibadah haji... Mereka mengatakan bahwa aku mencintai keluargaku dan memberikan mereka harta. Sebenarnya, perasaan sayangku kepada keluargaku tidak membuat aku bertindak berdasarkan harta milikku sendiri. Aku tidak pernah menghalalkan harta atau pajak dari wilayah mana pun untuk kepentingan pribadi, termasuk untuk diriku sendiri. Demi Allah! Aku tidak pernah mengambil sedikit pun harta atau cukai dari wilayah mana pun..." (Al-Tabari, Tarikh al-Tabari, 4/348). Hal ini jelas tidak akan diutip oleh tulisan Syiah. Mengapa? Karena hal ini bukan sesuatu yang mereka inginkan.


RIWAYAT SEJARAH

7.   Setelah fitnah terus berlanjut, khalifah Uthman dibunuh. Setelah pembunuhan Uthman, dunia Islam terus tidak tenang. Fitnah semakin banyak dan berbagai cerita ditambahkan. Mulai dari cerita politik tentang Saidina Uthman hingga konflik seperti Perang Jamal, Siffin, pembunuhan Saidina Hussain, dan lain-lain. Buku-buku sejarah mencatatkan berbagai peristiwa yang saling bercampur aduk. Cerita-cerita ini sering kali saling bertentangan. Ada riwayat pro-Syiah dan ada yang pro-Sunni, semuanya tergantung pada perawi (narator) yang mengemukakannya. Jika naratornya adalah penganut fanatik Syiah seperti Abu Mikhnaf dan Hisyam bin Saib al-Kalbi, maka cerita tentang Uthman, Mu'awiyah, dan lain-lain akan diungkapkan dengan sudut pandang yang buruk.

Kitab al-Umam wa al-Muluk, yang juga dikenal sebagai Tarikh al-Tabari, yang menjadi pegangan bagi sejarah Sunni dan Syiah, mencatatkan berbagai riwayat yang saling bertentangan. Ini karena al-Imam al-Tabari (w. 310) mencatatkan apa pun yang sampai kepadanya tanpa mempertimbangkan kebenaran atau ketidakbenarannya. Ia membiarkan para pembacanya menilai berdasarkan sanad-sanad yang dikemukakan dan membuat pembandingan sendiri. Al-Tabari sendiri menyebutkan dalam mukadimahnya: "Apa yang terkandung di dalam kitab ini tentang sebagian kisah orang-orang terdahulu; ada berita yang menyebabkan pembacanya merasa aneh atau mungkin merasa tidak menyukai. Ini karena dia tidak dapat menerimanya sebagai sesuatu yang benar atau hakikat. Maka hendaklah dia mengetahui bahwa berita-berita tersebut bukan datang daripadaku, tetapi ia datang daripada orang yang menyampaikannya kepadaku. Aku telah meriwayatkannya seperti yang disampaikan kepadaku" (Al-Tabari, Tarikh al-Tabari, 1/8).


8.   Kita semua tidak menyaksikan langsung apa yang sebenarnya terjadi dalam sejarah. Begitu juga dengan al-Tabari. Hanya catatan-catatan berbagai sumber yang ada. Membaca sejarah Islam memerlukan pemahaman tentang disiplinnya. Maka kita harus mematuhi petunjuk al-Quran: "Wahai orang-orang yang beriman! Jika datang kepadamu orang fasik membawa berita, maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya dan menyesali perbuatanmu itu" (Surah al-Hujurat: 6).


9.   Oleh karena itu, Ahlus Sunnah berbeda pendekatan dalam isu sejarah ini dengan Syiah. Kata al-Imam Ibn Taimiyyah: Ahlus Sunnah wal Jama'ah berlepas diri dari sikap golongan al-Rafidah (Syiah) yang membenci dan mencela para sahabat. Mereka juga berlepas diri dari sikap golongan al-Nasibah yang menyakiti Ahl al-Bayt dengan perkataan dan perbuatan. Ahlus Sunnah wal Jama'ah mengambil sikap netral dalam pertentangan yang terjadi antara para sahabat. Mereka berpendapat bahwa kisah-kisah yang diriwayatkan tentang keburukan para sahabat, banyak yang palsu, ditokok tambah, atau diubah dari cerita aslinya.


10.  Namun, atas kedukaan sejarah yang ditokok tambah atau direka berdasarkan kepentingan politik, dibentuklah berbagai doktrin dan dogma agama yang lain sehingga Syiah akhirnya menjadi mazhab besar yang mewarisi dendam sejarah dari zaman ke zaman. Meskipun cerita lama mereka hanya tentang penderitaan, mereka tetap meriwayatkannya. Persoalan sejauh mana kebenaran cerita bukan lagi menjadi isu. Namun bagi kita, sikap yang adil adalah berdialog dengan mereka. Mereka adalah umat Islam dan memiliki kelebihan tersendiri. Mereka adalah mazhab yang lahir dari isu politik, sehingga mereka sangat mahir dalam politik karena telah bergelut dalamnya. Bagi kita, menghukum tanpa berhujah adalah sikap yang tidak adil. Berhujah tanpa mau mendengar hujah orang lain adalah sikap yang keras kepala. 

Ahlus Sunnah bersikap sederhana dalam segala hal. Mereka menolak yang berlebihan, memperbaiki yang salah, mengeluarkan dari taklid buta, menentang yang sengaja berdusta. Mereka yang berijtihad dalam melebihkan kedudukan A'li bin Abi Talib melebihi para sahabat lainnya tanpa mengkafirkan, adalah aliran yang telah ada sejak zaman salaf. 

Mereka yang bersekongkol dengan musuh dan menghalalkan darah kaum muslimin adalah musuh umat ini.


--- Terjemah beba dari https://muftiperlis.gov.my/index.php/minda-mufti/82-syiah-mazhab-atas-nostalgia-sejarah


About

  رَبَّنَا ٱغْفِرْ لَنَا وَلِإِخْوَٰنِنَا ٱلَّذِينَ سَبَقُونَا بِٱلْإِيمَـٰنِ وَلَا تَجْعَلْ فِى قُلُوبِنَا غِلًّا لِّلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ رَبَّنَآ إِنَّكَ رَءُوفٌۭ رَّحِيمٌ

Ya Rabb kami, beri ampunlah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dulu dari kami, dan janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman; Ya Rabb kami, Sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyayang.

TRENDING