} -->

ANALISIS PENTINGNYA ILMU FIQH DI SISI AHLI HADIS

A Study on the Importance of Islamic Jurisprudence Among the Scholar of Hadith



ABSTRAK

Beberapa orang mengklaim bahwa para ulama hadis tidak ahli dalam bidang Fikih Islam. Oleh karena itu, penelitian ini membahas keahlian dan kontribusi ulama hadis dalam bidang ini. Tujuannya adalah untuk membuktikan seberapa akurat klaim tersebut bahwa ulama hadis tidak ahli dalam Fikih Islam. Penelitian ini akan menerapkan metodologi induktif dan deduktif untuk menganalisis data yang dikumpulkan dalam penelitian ini. Temuan penelitian menunjukkan bahwa ada ulama hadis yang memiliki mazhab fikih mereka sendiri. Ada juga ulama hadis yang diangkat sebagai hakim di pengadilan pada zamannya. Para ulama hadis juga menekankan pentingnya fikih hadis agar menjadi bagian dari ilmu hadis. Kesimpulan dari penelitian ini adalah bahwa klaim yang menyatakan bahwa para ulama hadis tidak ahli dalam Fikih Islam benar-benar tidak benar.

PENDAHULUAN

Pada zaman ini, muncul sebagian pihak yang mengatakan bahwa ulama hadis seharusnya tidak terlibat dalam urusan fiqh dan usul fiqh dengan alasan mereka tidak ahli dan tidak memperhatikan dua ilmu tersebut. Dengan demikian, seharusnya seorang Muslim tidak perlu mempopulerkan pandangan fiqh yang dinyatakan oleh ulama hadis.

Sebaliknya, kita hanya perlu mengambil fiqh dari ulama fiqh. Sementara itu, pandangan ulama hadis hanya dapat diambil dalam konteks hadis saja. Dakwaan ini sebenarnya tidak akurat dan perlu ditinjau kembali. Kenyataannya, siapa pun yang mempelajari sejarah kehidupan ulama hadis masa lalu akan menemukan bahwa banyak dari mereka sangat terampil dalam ilmu fiqh dan usul fiqh. Oleh karena itu, artikel ini akan membuktikan keahlian ulama hadis dalam dua ilmu ini sehingga klaim yang tidak berdasar tersebut dapat dinilai kembali.

PERBEDAAN ANTARA ULAMA HADIS DAN PERAWI BIASA

Hal mendasar yang harus diketahui oleh para pelajar ilmu agama adalah adanya perbedaan antara perawi hadis biasa dan ulama hadis. Tidak semua perawi hadis adalah ulama hadis, yang merupakan ahli yang mahir dalam ilmu agama. Namun, tidak dapat disangkal bahwa sebagian besar jaguh hadis merupakan tokoh fiqh dan memiliki mazhab fiqh sendiri. Kesalahan dalam memahami hakikat ini dapat mengakibatkan klaim bahwa semua ulama hadis tidak mahir dalam fiqh dan usul fiqh. Kutipan di bawah ini membuktikan hal ini:

I. Al-Khatib al-Baghdadi menjelaskan:

Artinya: Siapa pun yang diriwayatkan dari dia hanya satu atau dua hadis dan tidak diketahui bahwa dia adalah seorang ulama dan banyak belajar ilmu, tetapi dia adalah seseorang yang jujur dan kredibel, maka hadisnya diterima baik dia merdeka atau hamba sahaya. Begitu juga jika dia bukan ahli ilmu dalam makna apa yang dia riwayatkan, dia tidak dikritik karena tidak diambil darinya fiqh terhadap hadis, tetapi hanya lafaz hadis yang diambil. (Al-Khatib al-Baghdadi, t.th)

Kata-kata Al-Khatib al-Baghdadi membuktikan bahwa ada perawi hadis yang tidak mahir dalam ilmu fiqh. Mereka hanya meriwayatkan hadis tanpa memahami maknanya. Namun, tidak semua ulama hadis begitu. Ini karena teks tersebut jelas bahwa dia berbicara tentang sebagian perawi yang hanya meriwayatkan satu atau dua hadis saja. Sementara ada ulama hadis yang meriwayatkan lebih dari itu. Bukti ini, dia sendiri meriwayatkan dari Sufyan bin Uyaynah yang mengatakan:

Artinya: Hai orang-orang yang meriwayatkan hadis, pelajarilah fiqh hadis, kamu tidak akan dikalahkan oleh Ahl al-Ra’y. Abu Hanifah tidak mengatakan sesuatu dalam isu kecuali kita telah meriwayatkan satu atau dua hadis tentang isu itu. (Al-Khatib al-Baghdadi, 2000).

Teks ini jelas membuktikan bahwa sebagian ulama hadis sangat memperhatikan fiqh. Mereka tidak hanya fokus pada banyaknya riwayat saja, tetapi juga meminta untuk memahaminya.

II. Ibn Rajab al-Ḥanbalī pula menjelaskan lagi hal ini dengan berkata:

Maksudnya: Dan lafaz al-Shuyūkh dalam istilah ulama ilmu ini (ilmu ḥadīth) ialah gambaran bagi mereka yang kedudukannya di bawah golongan imam-imam dan para ḥuffāz. Boleh jadi dalam kalangan mereka itu thiqah (dipercayai) dan boleh jadi tidak. (Ibn Rajab al-Ḥanbalī, 1987)

Oleh itu, adalah tidak adil untuk dibuat satu kesimpulan secara borong bahawa kesemua ulama ḥadīth itu tidak menguasai fiqh dan uṣūl al-fiqh. Sedangkan hakikatnya tidak begitu.

ULAMA FIQH DI SISI ULAMA HADIS

Penelitian terhadap biografi tokoh-tokoh hadis masa lalu dalam kitab-kitab terpercaya akan membuktikan bahwa ilmu fiqh tidak pernah diabaikan oleh mereka. Bahkan sebagian dari mereka memiliki keahlian dalam ilmu fiqh. Berikut adalah bukti keahlian tokoh hadis dalam ilmu fiqh:

Ulama Hadis Memiliki Mazhab Sendiri

Salah satu bukti yang menunjukkan bahwa sebagian ulama hadis menguasai fiqh dan usul al-fiqh dengan baik adalah sebagian ulama hadis memiliki mazhab fiqh mereka sendiri. Ini bukan hanya pandangan fiqh semata, tetapi ulama hadis berhasil membangun mazhab mereka sendiri dan memiliki pengikut mereka sendiri. Sangat aneh jika dikatakan ulama hadis tidak menguasai ilmu fiqh dan usul al-fiqh tetapi mereka mampu membangun mazhab fiqh mereka sendiri. Berikut adalah kutipan yang menunjukkan bahwa sebagian ulama hadis memiliki mazhab fiqh mereka sendiri:

i. Imam al-Shāfiʿī menjelaskan tentang al-Laith bin Saʿad sebagai berikut:

Artinya: al-Laith lebih faqih dari Mālik tetapi pengikutnya tidak memperhatikan pendapatnya. (al-Qastallānī, 1905)

Al-Laith bin Saʿad adalah seorang tokoh hadis. Bahkan dia termasuk dalam daftar perawi Sahih al-Bukhari. (al-Kalābazī, 1987) Ucapan Imam al-Shāfiʿī ini membuktikan bahwa ulama hadis seperti al-Laith juga memiliki mazhab fiqh mereka sendiri. Namun, pengikut mazhab al-Laith bin Saʿad tidak menuliskan mazhab mereka dan tidak mengabadikan prinsip mazhab fiqh mereka dalam penulisan. Sehingga mazhab al-Laith tidak bertahan sampai zaman Imam al-Shāfiʿī.

ii. Ibn Khuzaimah berkata ketika memberikan komentar tentang Isḥāq bin Rahūyah:

Artinya: Demi Allah, jika Isḥāq dalam kalangan tābiīn maka mereka akan mengakui kemampuan hafalan, ilmu, dan fiqhnya. (al-Zahabi, 1985)

Ucapan Ibn Khuzaimah ini jelas membuktikan bahwa Isḥāq bin Rahūyah tidak hanya ahli dalam ilmu hadis semata, tetapi keahliannya juga mencakup ilmu fiqh sehingga diakui oleh ulama di zamannya.

iii. Ibn Rajab al-Ḥanbalī berkata:

Artinya: Apa yang kami kutip dari pandangan al-Thaurī sebenarnya adalah apa yang dikutip oleh pengikutnya dari beliau dalam kitab-kitab yang ditulis sesuai dengan prinsip mazhabnya. (Ibn Rajab al-Ḥanbalī, 1996)

Artinya: Demikian juga pengikut Sufyān (al-Thaurī) mencantumkan pandangan mazhabnya dalam kitab-kitab mereka. (Ibn Rajab al-Ḥanbalī, 1996

PUJIAN UNTUK ULAMA HADIS

Pujian dari para ulama terhadap ulama hadis juga menjadi bukti yang jelas bahwa ulama hadis juga mahir dalam ilmu fiqh dan usul al-fiqh. Hal ini karena ulama hadis dipuji karena jasa mereka dalam menjaga keaslian agama. Sangat aneh jika pengawal yang menjaga keaslian agama dianggap sebagai orang yang tidak memahami agama. Tidak mungkin seseorang dapat membersihkan agama dari penyimpangan jika dia tidak memahami agama yang sebenarnya.

Al-Khatib al-Baghdadi berkata tentang kedudukan ulama hadis dalam Islam:

Maksudnya: Sesungguhnya Allah telah menjadikan ahlinya (ahli hadis) sebagai pilar-pilar Syariah, Allah menghancurkan dengan mereka (ahli hadis) setiap bid'ah yang buruk, mereka adalah pemegang amanah Allah dari kalangan makhluk-Nya, dan mereka juga sebagai perantara antara Nabi SAW dan umatnya serta mujtahidin yang menjaga agamanya. (Al-Khatib al-Baghdadi, tidak diketahui tahun terbit)

Jika diperhatikan teks dari al-Khatib al-Baghdadi ini, dapat disimpulkan bahwa ahli hadis, yaitu ulama hadis, adalah pilar-pilar Syariah dimana Syariah tegak dengan keberadaan mereka. Mereka juga menjaga keaslian agama. Bahkan Sufyan al-Thauri menegaskan:

Maksudnya: Para malaikat penjaga (wahyu) di langit dan ahli hadis menjaga (wahyu) di bumi. (Al-Khatib al-Baghdadi, tidak diketahui tahun terbit)

Apakah logis jika penjaga wahyu dan benteng keaslian agama ini tidak mahir dalam ilmu fiqh dan usul al-fiqh? Bukankah Nabi SAW telah menyatakan:

Maksudnya: Selalu ada satu kelompok dari umatku yang tetap berpegang pada kebenaran, dan orang yang menentang mereka tidak akan berbahaya terhadap mereka sampai datang perintah Allah. (Shahih Muslim, no. Hadis: 1920)

Imam Ahmad dan Ali ibn al-Madini menyatakan bahwa kelompok ini adalah ahli hadis. (Ibn Hajar, tidak diketahui tahun terbit) Oleh karena itu, ahli hadis adalah penjaga keaslian agama di bumi. Sudah pasti mereka memahami dengan baik ilmu fiqh dan Maqasid Syariah yang umum.

PENDEKATAN ULAMA HADIS TERHADAP FIQH

Pendekatan ulama hadis terhadap ilmu fiqh juga menunjukkan bahwa mereka sangat memperhatikan dan tidak mengabaikan ilmu tersebut. Berikut adalah bukti pendekatan mereka terhadap ilmu fiqh:

Pendekatan terhadap Fiqh dalam Ucapan Mereka

Ulama hadis tidak hanya memberi penekanan pada periwayatan hadis dan ilmu 'Ilal al-Hadis dalam ucapan dan tindakan mereka. Mereka juga memberi penekanan pada fiqh hadis kepada para murid yang belajar dengan mereka. Wakīʿ bin al-Jarrāḥ mengatakan kepada para muridnya:

Maksudnya: Wahai anak muda, fahamilah fiqh hadis. Jika kamu memahami fiqh hadis, kamu tidak akan dikalahkan oleh Ahl al-Ra’y. (al-Khaṭīb al-Baghdādī, 1996)

Ali ibn al-Madini mengatakan:

Maksudnya: Memahami makna hadis adalah separuh dari ilmu, dan mengetahui perawi adalah separuh dari ilmu. (al-Khaṭīb al-Baghdādī, t.th)

Menjadikan Ilmu Fiqh Sebagai Bagian dari Ilmu Hadis

Tidak hanya memberi penekanan pada kepentingan ilmu fiqh, para tokoh hadis juga menjadikan fiqh hadis sebagai bagian dari ilmu hadis. Al-Hakim menempatkan posisi fiqh hadis di sampingnya dengan mengatakan:

Maksudnya: Fiqh hadis adalah manfaat bagi ilmu-ilmu hadis. Dengan itu, syariat akan terjaga. Fuqaha Islam yang merupakan pakar qiyas, pandangan, istinbat, dan diskusi telah dikenal pada setiap zaman dan oleh penduduk setiap negeri. Kami dalam kitab ini menyebutkan fiqh hadis dari ahlinya, supaya dapat dijadikan bukti bahwa ahli ilmu ini adalah mereka yang ahli dalam ilmu hadis, dan tidak bodoh dalam fiqh hadis karena itu merupakan salah satu jenis dari jenis-jenis ilmu hadis. (al-Hakim, 1977)

Judul Bab dalam Kitab Hadis

Salah satu bukti bahwa para ulama hadis memiliki keahlian dalam fiqh adalah judul-judul bab dalam kitab hadis mereka. Salah satu ulama hadis yang memiliki keahlian ini adalah Imam al-Bukhari, sehingga terkenal di kalangan pencari hadis bahwa fiqh al-Bukhari terdapat dalam judul-judul bab dalam kitab Shahihnya. Begitu juga dengan al-Nasa'i hingga al-Hakim menyatakan:

Artinya: Adapun ucapan Abu 'Abd al-Rahman (al-Nasa'i) tentang fiqh hadis terlalu banyak untuk disebutkan di sini, dan siapa saja yang melihat Sunan-nya akan merasa kagum dengan keindahan bahasanya. (al-Hakim, 1977)

Kitab-Kitab yang Ditulis oleh Ulama Hadis

Ulama hadis tidak hanya mahir dalam meriwayatkan hadis, tetapi mereka juga menulis kitab-kitab yang menjelaskan makna yang terkandung dalam hadis. Menulis syarah hadis memerlukan keahlian dalam ilmu fiqh dan usul al-fiqh. Hal ini dikarenakan hadis tidak bisa dipahami hanya dengan satu riwayat saja. Oleh karena itu, penelitian terhadap dalil-dalil lain juga diperlukan untuk memperoleh pemahaman yang lebih tepat dan akurat terhadap teks (matan). Bukti dari hal ini antara lain adalah:

i. Kitab Sharh al-Sunnah yang ditulis oleh al-Baghawi. Siddiq Hasan Khan berkata:

Artinya: Dan al-Baghawi bersama kitabnya Sharh al-Sunnah memadai untuk fiqh al-hadis dan penjelasan terhadap masalah-masalahnya sehingga kitab ini seolah-olah menyamai dua kitab yaitu syarah al-Masabih dan kitab al-Mishkah. (al-Qannuji, 1985)

ii. Kitab al-Tamhid karya Ibn Abd al-Barr. Ibn Hazm al-Andalusi berkata ketika mengulas tentang kitab al-Tamhid:

Artinya: Ini adalah kitab yang saya tidak mengetahui adanya kitab lain yang serupa dalam membahas isu fiqh al-hadis, bagaimana mungkin saya menemukan kitab yang lebih baik darinya? (Ibn Hazm al-Andalusi, 1987)

Ada juga di antara mereka yang memperhatikan pandangan mazhab dalam kitab hadis mereka, seperti Sunan al-Tirmidzi. Imam al-Tirmidzi sangat memperhatikan pandangan mazhab fiqh dalam Sunannya. Siddiq Hasan Khan memberikan komentar tentang Sunan al-Tirmidzi:

Artinya: Yang keempat (dari penulis kitab hadis) adalah Abu Isa al-Tirmidzi dan ia melihat baik metode al-Shaikhain (al-Bukhari dan Muslim) ketika mereka menjelaskan dan menyamarkan, dan juga metode Abu Dawud ketika menjelaskan pandangan orang yang berpegang dengan hadis, maka ia (al-Tirmidzi) menggabungkan kedua metode ini dan menambah dengan penjelasan tentang mazhab-mazhab Sahabat, Tabiin, dan Fuqaha' di seluruh negeri. Maka ia mengumpulkan kitab yang merangkumi semuanya. (al-Qannuji, 1985)

Ulama Hadis merumuskan Kaidah Usul

Ini adalah bukti kemahiran mereka dalam ilmu fiqh dan usul fiqh. Berikut adalah beberapa prinsip usul fiqh yang ditegaskan oleh ulama hadis:

i. Tidak boleh berhujah kecuali dengan hadis yang sahih

Prinsip ini sangat penting dalam ilmu usul fiqh. Setiap ahli fiqh tidak boleh menggunakan hadis yang tidak sahih untuk berhujah. Imam Muslim menegaskan prinsip ini:

Artinya: Ketahuilah - semoga Allah merahmatimu - bahwa keahlian dalam hadis dan mengetahui status kebenarannya merupakan hal yang benar-benar penting, dan ahli hadislah yang mengetahuinya, bukan orang lain. Hal ini karena dasar agama mereka adalah sunnah dan athar yang diriwayatkan dari zaman ke zaman dari Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam sampai zaman kita sekarang. (Muslim bin al-Hajjaj, 1989)

Ibn Rajab al-Hanbali juga menyatakan:

Artinya: Imam-imam dan fuqaha ahli hadis mengikuti hadis yang sahih, tidak peduli keadaannya seperti apa. (Ibn Rajab al-Hanbali, tanpa tanggal)

ii. Fleksibilitas dalam mengamalkan hadis dhaif dalam Faḍāil al-Aʿmāl.

Banyak ulama hadis yang menyatakan prinsip penting ini. Ini adalah prinsip yang berkaitan dengan hukum mengamalkan suatu hadis. Salah satu ulama hadis yang menyatakan prinsip ini adalah Abd al-Rahman bin Mahdi, dia menjelaskan:

Artinya: Ketika kami meriwayatkan tentang pahala, balasan, dan keutamaan amal, kami longgarkan pada sanad dan perawi. Namun, ketika kami meriwayatkan tentang halal, haram, dan hukum-hakam, kami ketat pada perawi. (al-Khaṭīb al-Baghdādī, t.th)

Kaedah ini tidak hanya disebut oleh Ibn Mahdi saja, bahkan juga disebut oleh Abdullah bin al-Mubarak. (al-Suyūṭī, t.th)

iii. Memahami agama dengan pemahaman Salafuṣṣoleh

Ini juga merupakan kaedah usul yang penting dalam memahami teks agama. Akidah dan ibadah tidak dapat dipahami dengan makna yang berbeda dari pemahaman Salafuṣṣoleh. Hal ini karena mereka adalah generasi terbaik bagi umat ini. Oleh karena itu, untuk memahami teks agama, perlu ditafsirkan al-Qur'an dengan hadis. Begitu juga, hadis harus dipahami dengan lembayung al-Qur'an. Pemahaman golongan Salafuṣṣoleh juga harus diperhatikan untuk memahami makna sebenarnya dari teks agama. Hal ini seperti yang ditegaskan oleh Imam Malik:

Artinya: Apa yang tidak menjadi agama pada hari itu (Salafuṣṣoleh), maka pada hari ini juga tidak akan menjadi agama. (al-Shāṭibī, 1922)

Ibn Rajab al-Ḥanbalī mengatakan ketika menegaskan prinsip ini:

Artinya: Manfaat ilmu dari ilmu-ilmu ini adalah menjaga nas al-Kitāb dan al-Sunnah serta memahaminya dan terikat dalam memahaminya dengan apa yang diriwayatkan dari sahabat, tābīʿīn dan tābiʿ tābīʿīn dalam makna al-Qur'an, ḥadīth dan apapun yang datang dari mereka tentang hukum halal, haram, zuhud, al-Raqāiq (pembersihan jiwa), pengetahuan, dan lain-lain. (Ibn Rajab al-Ḥanbalī, t.th)

Ulama Hadis menjadi Hakim di Zaman Mereka

Bukti terpenting yang menunjukkan bahwa tidak semua ulama hadis tidak tahu fiqh dan ushul al-fiqh adalah ketika mereka diangkat sebagai hakim di pengadilan pada zamannya. Semua orang tahu bahwa posisi hakim membutuhkan ijtihad dalam masalah-masalah aktual yang dihadirkan di pengadilan. Bagaimana mungkin seseorang diangkat sebagai hakim tanpa menguasai kedua ilmu ini? Terlalu banyak ulama hadis yang diangkat menjadi hakim pada zamannya. Di antara yang terkenal adalah al-Khalīlī, Ibn Ḥibbān yang menjadi hakim di Samarkand, Abū Zurʿah al-Dimashqī yang menjadi hakim di Mesir, dan Ibn al-Qaṭṭān al-Fāsī yang menjadi hakim di kota Sijilmasah (alZahabi, 1985).


KESIMPULAN

Dengan penjelasan yang telah disebutkan di atas, analisis ini dapat membuktikan hal-hal berikut:

Perlu membedakan antara perawi hadis dan ulama hadis. Tidak semua perawi hadis diakui oleh ilmuwan dalam ilmu agama Islam.

Ulama hadis tidak mengabaikan ilmu fiqh dan ushul al-fiqh. Bahkan ada di antara mereka yang sangat menguasai ilmu ini dan memperhatikannya. Oleh karena itu, peran mereka dalam ilmu ushul al-fiqh tidak wajar.

Sebagian ulama hadis memiliki mazhab fiqh mereka sendiri. Ini menunjukkan keahlian mereka dalam ilmu fiqh dan ushul al-fiqh.

Banyak ulama hadis yang diangkat menjadi hakim di beberapa daerah dan negara. Ini membuktikan bahwa ilmu mereka diakui oleh pemerintah dan masyarakat pada zaman tersebut.


RUJUKAN

Lihat pada PDF

About

  رَبَّنَا ٱغْفِرْ لَنَا وَلِإِخْوَٰنِنَا ٱلَّذِينَ سَبَقُونَا بِٱلْإِيمَـٰنِ وَلَا تَجْعَلْ فِى قُلُوبِنَا غِلًّا لِّلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ رَبَّنَآ إِنَّكَ رَءُوفٌۭ رَّحِيمٌ

Ya Rabb kami, beri ampunlah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dulu dari kami, dan janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman; Ya Rabb kami, Sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyayang.

TRENDING